Saturday, October 2, 2010

http://cerpenkita.site40.net/page/4

SEORANG Perempuan menulis sajak dalam benak dengan tinta hitam malam. Seluruh pori-porinya mengembang. Peluhnya sangat deras menjelma ribuan kata, ribuan kalimat yang mengalir dari telaga kenangan. Kadang Perempuan itu cemas, kadang Perempuan itu gemas pada Malam, sehingga ia tak pernah lelah untuk menikamkan runcing-runcing kata, pisau-pisau kalimat ke lambung Malam.

Apa kabar, Malam? Kuharap kamu bukan malam yang dulu, yang datang bersama derap-derap sepatu dan mengambil paksa Ayah untuk diperam dalam drum berisi adonan semen dan batu hingga darahnya membeku.

Malam terdiam. Ditatapnya wajah perempuan itu. Suasana pun terasa canggung.

Untuk apa kamu datang ke liang persembunyianku? Biarkan aku sedikit tenang di sini, bisa mendengarkan suara degup jantungku yang teratur merambati kesunyian; bukan lagi degup jantung seorang Perempuan pelarian yang kelelahan menangkis desingan maut. Sungguh, ini kemewahan bagiku.

Kau tahu, Malam, bertahun-tahun aku mengendap-endap dari kota ke kota, sejak kerusuhan berdarah itu pecah. Rumah, ranjang, boneka kesayangan, sepeda kecil, album keluarga, buku-buku, bunga-bunga di taman atau apa saja yang pernah kumiliki, telah punah. Dan, satu-satunya yang berhak kumiliki hanyalah kenangan. Begitu juga dengan mesin ketik Ayah yang selalu bersuara kicau gelatik. Juga mesin jahit Ibu, yang selalu bergemuruh membangunkan aku dari tidur untuk mandi, sarapan, dan berangkat sekolah. Apakah sejumput kenangan itu juga akan kau ambil? Kenapa kamu diam?

Perempuan itu mencoba menebak-nebak jawaban yang akan diucapkan Malam. Mungkin Malam ingin menjelaskan semua hal, tentang tahun-tahun lama, tentang banyak kepala yang dipenggal.

Tapi Malam tetap diam. Air matanya menitik menjadi gerimis rintik.

Perempuan itu ingin meninju atau menampar wajah Malam yang baginya mencoba menyuap dirinya dengan sekeping iba. ”Dukaku terlalu dalam, Malam. Tangismu sangat tidak cukup menghiburku,” Perempuan itu meniupkan kalimat menyengat. Dia berharap Malam menjadi tersinggung dan marah, hingga semua ucapan tumpah. Dia sangat menunggu, Malam bergairah mengutuknya dengan sumpah serapah. Dia terus memancing Malam untuk marah. Bukankah justru musuhlah yang paling jujur menilai diri kita, pikir Perempuan itu.

Ia sangat menunggu kutuk kata dari mulut Malam. Ia menunggu kata-kata busuk tentang Ayahnya, tentang Ibunya, tentang para saudaranya keluar atau sumpah serapah lainnya. Ia berharap dari balik kata-kata kasar itu Malam bisa lebih jujur memberikan alasan kenapa Ayahnya dicor dalam drum.

Kenapa pada tahun yang sangat kelam itu kamu begitu beringas, Malam? Kamu membawa senapan dan bayonet. Dan orang-orang yang kami cintai itu kamu ambil paksa, kamu rajam dengan timah panas dan kamu tikam dengan bayonet berkilat. Kenapa kamu biarkan anggota pasukanmu menjarah harta benda kami, memperkosa saudara-saudara kami. Kamu ingat adikku, Zuan? Dia masih terus menangis sampai kini, sejak pasukanmu menciptakan neraka di rongga dadanya. Bahkan ia belum pernah menstruasi ketika kehormatannya lepas dari genggaman. Kenapa kamu membiarkan? Kenapa kamu diam? Kenapa?

Mungkin kamu sedang menyusun alasan bahwa waktu itu negara sedang kalut, api sangat gampang tersulut, pedang dan parang begitu mudah terhunus, senapan-senapan begitu ringan menyalak. Dan tangan-tangan begitu mudah menumpahkan darah. Atau, mungkin kamu juga akan menjelaskan bahwa kebencian telah ditabur di setiap rongga dada dan tumbuh menjadi belukar prasangka.

Waktu itu aku hanya bisa berdebar dan gemetar melihat maut berkelebat tangkas memunguti nyawa demi nyawa. Aku pun tak kuasa menahan jerit sukmaku melihat mayat-mayat mengambang di sungai darah, mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan, parit-parit, got-got, lorong-lorong di bawah bentangan spanduk yang mengepal, dengan kalimat yang sangat beringas. Dan entah tangan siapa yang tiba-tiba menarikku dari kepungan orang-orang bertopeng. Tangan itu membawaku terbang. Kulit tangan itu sangat halus serupa beludru. Mungkin tangan malaikat.

”Apakah hanya karena ras yang berbeda, Ayah, Ibu, dan saudara-saudaraku harus binasa? Atau karena sebab yang tak mungkin diungkap? Atau kami hanyalah pihak yang sengaja dikorbankan atas nama kepentingan yang tidak mungkin dijelaskan?” Perempuan itu meradang.

Malam terdiam. Sedikit gemetar. Ia mencium aroma tubuh Perempuan serupa harum tanah sehabis hujan. Sedap. Menimbulkan debar. Sungguh, wajah Perempuan itu sangat mempesona, meskipun tidak bisa disebut jelita, batin Malam. Komposisi antara mata, alis tebal, hidung, pipi, bibir, dan dagu bukan komposisi yang sempurna, tapi manis. Urat-urat kesedihan yang bersilangan di wajahnya memang sedikit mengganggu kemanisannya, namun ia tetap mempesona.

Malam, kenapa kamu diam?

Malam tergeragap. Kesuntukannya menikmati keindahan wajah Perempuan itu pun buyar. Dengan tergopoh-gopoh ia mencoba memunguti kristal-kristal kekagumannya atas wajah Perempuan itu. Langsung memasukkan dalam saku di balik jaket hitamnya.

Dada Malam terasa bergemuruh. Perempuan manis, kenapa kamu menjadikan aku sebagai tertuduh? Kata-kata itu nyaris meluncur dari mulut Malam. Tapi, Malam cepat-cepat menahan gerak lidahnya, hingga suaranya langsung tercekat.

”Coba kamu ulangi, Malam…,” ujar Perempuan itu, lembut.

Malam kembali terdiam, setelah susah payah ia menguasai diri. Pada momen itu sesungguhnya ia ingin menjelaskan bahwa dirinya tak lebih dari kesunyian yang begitu rapuh dilabrak segala hal yang tanpa terduga menabrak dan melabrak. ”Perempuan, betapa mataku, hatiku sangat pedih menyaksikan semua peristiwa itu. Bahkan hingga kini aku pun tidak ingin mengingatnya kembali. Kenangan itu terlalu hitam, terlalu kelam, lebih kelam dari wajah dan sosokku,” batin Malam.

Aku sendiri tak pernah paham, mendadak orang-orang liar itu muncul dari belukar sambil memamerkan taring-taring dan teriakan yang melengking-lengking. Aku bisa mendengar degup jantung mereka, debur ombak darah di nadinya yang sangat kasar dan terpantul pada tatapan mata nanar. Aku hanya mengenal seragam mereka serupa tumpang-tindih warna daun-daun hutan, tapi tak tahu persis siapa mereka. Aku hanya mengenal bahasa mereka, tapi tidak tahu asalnya. Bahasa mereka sulit diartikan, lebih mirip kumpulan bunyi tanpa nada dan langgam. Sangat kaku, keras, dan tidak menarik. Tidak ada kalimat di sana. Hanya kata. Hanya perintah. Selebihnya hanya amarah.

Malam seperti mendengar isak tangis, namun ternyata suara hujan riwis. Perempuan itu tetap duduk di sana, di atas batu, di bawah tempias cahaya bulan yang bergegas tenggelam di balik awan. Pelan-pelan Perempuan itu melepas kain yang disambut kesiur angin yang lalu menerbangkannya entah ke mana. Perempuan itu menjelma patung putih pualam. Malam pun terpejam. Jantungnya berdegup kencang. Tapi ia tetap menyelinap di balik tabir gelap, seolah tak pernah melihat tubuh Perempuan yang begitu memikat.

Pelan-pelan, bahkan sangat pelan perempuan itu menggerakkan tubuhnya. Gerakannya serupa tarian angin, lembut, mengalir. Tubuhnya terus bergerak. Kadang melingkar. Kadang berputar. Kadang melintas bidang kiri dan kanan. Di dalam anyaman gerak, menyembul sayup-sayup suara tembang indah, meski terdengar parau dan serak. Malam kesulitan mengartikan kata-kata dalam tembang. Yang ia dengar hanyalah rangkaian bunyi yang terasa menyayat. Tembang itu terus menggema, menerobos udara, meluncur bersama angin ke berbagai arah. Dinding-dinding kesunyian yang diterobosnya pun retak dan terbelah-belah.

Malam tahu persis, sudah puluhan tahun Perempuan itu bersahabat dengan angin. Mungkin bukan hanya bersahabat. Mungkin juga hubungan kasih. Barangkali Perempuan itu hanya percaya kepada angin, yang tidak pernah berdusta tentang segala hal-ihwal. Atau, mungkin juga Perempuan itu menganggap hanya anginlah yang masih mau memeluknya, membasuh segala lukanya dan memahami berbagai perasaannya. Dalam ribuan malam mereka saling cakap, saling dekap.

Tubuh Perempuan itu terus bergerak. Angin menyambutnya dengan tiupan yang membelit tubuh Perempuan itu. Keduanya membentuk komposisi serupa dua sosok yang berpilin. Saling mengelayut, saling menjalin. Saling berpeluk. Saling berpagut. Perempuan itu begitu bergairah. Hasratnya berbuncah-buncah.

Malam tak mampu menyembunyikan risau, gemuruh hatinya terus mendesau. Kenapa Perempuan itu hanya mau menari dengan angin, dan tidak dengan aku?Malam pun mencoba meredakan kecemburuannya, mencoba menghibur dirinya. Mungkin Perempuan itu ingin menggedor langit agar segala sungkawanya didengar, atau setidak-tidaknya agar telinga langit menjadi makin lebar.

Tapi mengapa Perempuan itu menganggapku sebagai sesuatu yang terkutuk? Risau Malam makin mendesau. Ia tak mampu menahan kejengkelannya sehingga terus mengubah dirinya menjadi gelap pekat nyaris segala hal tak terlihat. Ia ingin menghukum Perempuan itu agar tak mampu melihat apa saja. Tapi Perempuan itu terus menari. Angin terus mengikutinya dalam segala irama.

”Apa kabar, Malam…?” desah suara Perempuan itu, ”kenapa kamu selalu diam. Selalu bungkam..”

Malam terperanjat. Dadanya berdesir.

”Kenapa kamu hanya diam, ketika semua milikku lepas dari genggaman? Kenapa kamu selalu memberi aku mimpi buruk?” Perempuan itu mendesis.

Perempuan itu terus menari, dengan lantunan tembang menyayat dan terdengar makin lamat. Perempuan itu hanya berharap, Malam mau mencatat seluruh lukanya yang terpahat dalam sukmanya.

1 comments:

Gergiana_Luph_LoLypop said...

Gw ambil cerpen ini dari site di atas itu. Soalnya gw suka banget sama ceritanya yg bikin kita yg baca buat agak mikir sedikit gtu.. :)

Post a Comment