Saturday, February 19, 2011

Dagangan... :)


Jam Ripcurl Holly KW

Harga: Rp.70.000 / pcs




Jam Tangan Monol Besar KW

Harga: Rp.70.000 / pcs




NEW COLLECTIONS, MONOL KAPSUL JARUM TERMURAH
Monol Kapsul Jarum, Tali Karet Elastis
Dengan Pilihan Warna :
Ungu Tua, Ungu Muda, Pink Tua, Pink Muda, Merah, Orange, Kuning, Hijau, Biru, Putih, Hitam
Satuan @ Rp. 75.000
> 3 pcs @ Rp. 60.000
> 6 pcs @ Rp. 55.000



RIP CURL AURORA
Jam tangan Karet Keluaran Ripcurl,
dengan warna eye catching, dgn Diameter jam
3.5 cm Water Resistant


Satuan @ Rp.70.000
>3 pcs = @ Rp. 65.000


Tersedia dalam 12 Pilihan Warna:
- Tali Hitam List Putih
- Tali Hitam List Pink
- Tali Putih List Merah
- Tali Putih List Biru
- Tali Putih List Hijau
- Tali Putih List Biru
- Tali Pink List Putih
- Tali Pink List Biru Muda
- Tali Biru List Putih
- Tali Biru Muda List Putih
- Tali Hijau List Putih
- Tali Merah List Putih




NEW COLLECTIONS, CASIO FILM
Ukuran : 2,5 x 3, Tebal 0,5 cm
Super Tipis, Dgn Tali Bisa Dilepas

Harga Satuan @ Rp. 100.000
Tersedia Warna : Hitam, Putih, Hijau Lumut, Merah, Pink,
Ungu, Biru Langit, Kuning, Orange



NIXON RUBBER
Harga Satuan @ 135.000
Tersedia warna:
Merah
Hitam
Biru
Kuning
Ungu
Orange
Hijau




Swatch Color
Harga Satuan @ 50.000




JAM HOOPS IMAGINATION
Harga Satuan @ 100.000
Jam Utama Bisa dilepas Dari Tali karetnya., Berhologram

Warna Yang Tersedia :
Ungu, Ungu Transparan, Kuning, Hitam Transparan, Merah, Hitam, Putih


HOOPS SPORT
Harga Satuan @ 150.000



Ice Watch Rubber : 135.000


Levi's : 135.000



Swatch Shaq 34 Gold : 130.000
ada ukuran cewek 125.000


Swatch Rubber ( Gambar Kiri ) : Rp 135.000,-

Swatch Transparant ( Gambar Kanan ) : Rp 135.000,-



Lacoste ( Gambar Atas ) : Rp 135.000,-
Hoops ( Bawah Kiri ) : Rp 100.000,-
Levi's ( Bawah Kanan ) : Rp 130.000,-




Monol Cowok : 200.000
G-Shock : 400.000
Ice Transparant ( Kiri Bawah ) : 130.000 ( Ada warna )
Swatch transparant : 130.000
Adidas/Nike : 90.000 ( ada warna )



Toywatch Jelly : 130.000 (tanpa tanggal)
135.000 (dengan tanggal)
Casio : 140.000



Swatch Shaq 34 Transparant : 130.000 (ada ukuran cewek 125.000)
Ice Watch Transparant : 130.000
Ice watch Color : 135.000
Ice Watch Rubber : 135.000


Harga Di atas belum termasuk Ongkir
Jika tertarik Hubungi:
085692540996


Saturday, October 2, 2010

http://cerpenkita.site40.net/page/4

SEORANG Perempuan menulis sajak dalam benak dengan tinta hitam malam. Seluruh pori-porinya mengembang. Peluhnya sangat deras menjelma ribuan kata, ribuan kalimat yang mengalir dari telaga kenangan. Kadang Perempuan itu cemas, kadang Perempuan itu gemas pada Malam, sehingga ia tak pernah lelah untuk menikamkan runcing-runcing kata, pisau-pisau kalimat ke lambung Malam.

Apa kabar, Malam? Kuharap kamu bukan malam yang dulu, yang datang bersama derap-derap sepatu dan mengambil paksa Ayah untuk diperam dalam drum berisi adonan semen dan batu hingga darahnya membeku.

Malam terdiam. Ditatapnya wajah perempuan itu. Suasana pun terasa canggung.

Untuk apa kamu datang ke liang persembunyianku? Biarkan aku sedikit tenang di sini, bisa mendengarkan suara degup jantungku yang teratur merambati kesunyian; bukan lagi degup jantung seorang Perempuan pelarian yang kelelahan menangkis desingan maut. Sungguh, ini kemewahan bagiku.

Kau tahu, Malam, bertahun-tahun aku mengendap-endap dari kota ke kota, sejak kerusuhan berdarah itu pecah. Rumah, ranjang, boneka kesayangan, sepeda kecil, album keluarga, buku-buku, bunga-bunga di taman atau apa saja yang pernah kumiliki, telah punah. Dan, satu-satunya yang berhak kumiliki hanyalah kenangan. Begitu juga dengan mesin ketik Ayah yang selalu bersuara kicau gelatik. Juga mesin jahit Ibu, yang selalu bergemuruh membangunkan aku dari tidur untuk mandi, sarapan, dan berangkat sekolah. Apakah sejumput kenangan itu juga akan kau ambil? Kenapa kamu diam?

Perempuan itu mencoba menebak-nebak jawaban yang akan diucapkan Malam. Mungkin Malam ingin menjelaskan semua hal, tentang tahun-tahun lama, tentang banyak kepala yang dipenggal.

Tapi Malam tetap diam. Air matanya menitik menjadi gerimis rintik.

Perempuan itu ingin meninju atau menampar wajah Malam yang baginya mencoba menyuap dirinya dengan sekeping iba. ”Dukaku terlalu dalam, Malam. Tangismu sangat tidak cukup menghiburku,” Perempuan itu meniupkan kalimat menyengat. Dia berharap Malam menjadi tersinggung dan marah, hingga semua ucapan tumpah. Dia sangat menunggu, Malam bergairah mengutuknya dengan sumpah serapah. Dia terus memancing Malam untuk marah. Bukankah justru musuhlah yang paling jujur menilai diri kita, pikir Perempuan itu.

Ia sangat menunggu kutuk kata dari mulut Malam. Ia menunggu kata-kata busuk tentang Ayahnya, tentang Ibunya, tentang para saudaranya keluar atau sumpah serapah lainnya. Ia berharap dari balik kata-kata kasar itu Malam bisa lebih jujur memberikan alasan kenapa Ayahnya dicor dalam drum.

Kenapa pada tahun yang sangat kelam itu kamu begitu beringas, Malam? Kamu membawa senapan dan bayonet. Dan orang-orang yang kami cintai itu kamu ambil paksa, kamu rajam dengan timah panas dan kamu tikam dengan bayonet berkilat. Kenapa kamu biarkan anggota pasukanmu menjarah harta benda kami, memperkosa saudara-saudara kami. Kamu ingat adikku, Zuan? Dia masih terus menangis sampai kini, sejak pasukanmu menciptakan neraka di rongga dadanya. Bahkan ia belum pernah menstruasi ketika kehormatannya lepas dari genggaman. Kenapa kamu membiarkan? Kenapa kamu diam? Kenapa?

Mungkin kamu sedang menyusun alasan bahwa waktu itu negara sedang kalut, api sangat gampang tersulut, pedang dan parang begitu mudah terhunus, senapan-senapan begitu ringan menyalak. Dan tangan-tangan begitu mudah menumpahkan darah. Atau, mungkin kamu juga akan menjelaskan bahwa kebencian telah ditabur di setiap rongga dada dan tumbuh menjadi belukar prasangka.

Waktu itu aku hanya bisa berdebar dan gemetar melihat maut berkelebat tangkas memunguti nyawa demi nyawa. Aku pun tak kuasa menahan jerit sukmaku melihat mayat-mayat mengambang di sungai darah, mayat-mayat bergelimpangan di jalan-jalan, parit-parit, got-got, lorong-lorong di bawah bentangan spanduk yang mengepal, dengan kalimat yang sangat beringas. Dan entah tangan siapa yang tiba-tiba menarikku dari kepungan orang-orang bertopeng. Tangan itu membawaku terbang. Kulit tangan itu sangat halus serupa beludru. Mungkin tangan malaikat.

”Apakah hanya karena ras yang berbeda, Ayah, Ibu, dan saudara-saudaraku harus binasa? Atau karena sebab yang tak mungkin diungkap? Atau kami hanyalah pihak yang sengaja dikorbankan atas nama kepentingan yang tidak mungkin dijelaskan?” Perempuan itu meradang.

Malam terdiam. Sedikit gemetar. Ia mencium aroma tubuh Perempuan serupa harum tanah sehabis hujan. Sedap. Menimbulkan debar. Sungguh, wajah Perempuan itu sangat mempesona, meskipun tidak bisa disebut jelita, batin Malam. Komposisi antara mata, alis tebal, hidung, pipi, bibir, dan dagu bukan komposisi yang sempurna, tapi manis. Urat-urat kesedihan yang bersilangan di wajahnya memang sedikit mengganggu kemanisannya, namun ia tetap mempesona.

Malam, kenapa kamu diam?

Malam tergeragap. Kesuntukannya menikmati keindahan wajah Perempuan itu pun buyar. Dengan tergopoh-gopoh ia mencoba memunguti kristal-kristal kekagumannya atas wajah Perempuan itu. Langsung memasukkan dalam saku di balik jaket hitamnya.

Dada Malam terasa bergemuruh. Perempuan manis, kenapa kamu menjadikan aku sebagai tertuduh? Kata-kata itu nyaris meluncur dari mulut Malam. Tapi, Malam cepat-cepat menahan gerak lidahnya, hingga suaranya langsung tercekat.

”Coba kamu ulangi, Malam…,” ujar Perempuan itu, lembut.

Malam kembali terdiam, setelah susah payah ia menguasai diri. Pada momen itu sesungguhnya ia ingin menjelaskan bahwa dirinya tak lebih dari kesunyian yang begitu rapuh dilabrak segala hal yang tanpa terduga menabrak dan melabrak. ”Perempuan, betapa mataku, hatiku sangat pedih menyaksikan semua peristiwa itu. Bahkan hingga kini aku pun tidak ingin mengingatnya kembali. Kenangan itu terlalu hitam, terlalu kelam, lebih kelam dari wajah dan sosokku,” batin Malam.

Aku sendiri tak pernah paham, mendadak orang-orang liar itu muncul dari belukar sambil memamerkan taring-taring dan teriakan yang melengking-lengking. Aku bisa mendengar degup jantung mereka, debur ombak darah di nadinya yang sangat kasar dan terpantul pada tatapan mata nanar. Aku hanya mengenal seragam mereka serupa tumpang-tindih warna daun-daun hutan, tapi tak tahu persis siapa mereka. Aku hanya mengenal bahasa mereka, tapi tidak tahu asalnya. Bahasa mereka sulit diartikan, lebih mirip kumpulan bunyi tanpa nada dan langgam. Sangat kaku, keras, dan tidak menarik. Tidak ada kalimat di sana. Hanya kata. Hanya perintah. Selebihnya hanya amarah.

Malam seperti mendengar isak tangis, namun ternyata suara hujan riwis. Perempuan itu tetap duduk di sana, di atas batu, di bawah tempias cahaya bulan yang bergegas tenggelam di balik awan. Pelan-pelan Perempuan itu melepas kain yang disambut kesiur angin yang lalu menerbangkannya entah ke mana. Perempuan itu menjelma patung putih pualam. Malam pun terpejam. Jantungnya berdegup kencang. Tapi ia tetap menyelinap di balik tabir gelap, seolah tak pernah melihat tubuh Perempuan yang begitu memikat.

Pelan-pelan, bahkan sangat pelan perempuan itu menggerakkan tubuhnya. Gerakannya serupa tarian angin, lembut, mengalir. Tubuhnya terus bergerak. Kadang melingkar. Kadang berputar. Kadang melintas bidang kiri dan kanan. Di dalam anyaman gerak, menyembul sayup-sayup suara tembang indah, meski terdengar parau dan serak. Malam kesulitan mengartikan kata-kata dalam tembang. Yang ia dengar hanyalah rangkaian bunyi yang terasa menyayat. Tembang itu terus menggema, menerobos udara, meluncur bersama angin ke berbagai arah. Dinding-dinding kesunyian yang diterobosnya pun retak dan terbelah-belah.

Malam tahu persis, sudah puluhan tahun Perempuan itu bersahabat dengan angin. Mungkin bukan hanya bersahabat. Mungkin juga hubungan kasih. Barangkali Perempuan itu hanya percaya kepada angin, yang tidak pernah berdusta tentang segala hal-ihwal. Atau, mungkin juga Perempuan itu menganggap hanya anginlah yang masih mau memeluknya, membasuh segala lukanya dan memahami berbagai perasaannya. Dalam ribuan malam mereka saling cakap, saling dekap.

Tubuh Perempuan itu terus bergerak. Angin menyambutnya dengan tiupan yang membelit tubuh Perempuan itu. Keduanya membentuk komposisi serupa dua sosok yang berpilin. Saling mengelayut, saling menjalin. Saling berpeluk. Saling berpagut. Perempuan itu begitu bergairah. Hasratnya berbuncah-buncah.

Malam tak mampu menyembunyikan risau, gemuruh hatinya terus mendesau. Kenapa Perempuan itu hanya mau menari dengan angin, dan tidak dengan aku?Malam pun mencoba meredakan kecemburuannya, mencoba menghibur dirinya. Mungkin Perempuan itu ingin menggedor langit agar segala sungkawanya didengar, atau setidak-tidaknya agar telinga langit menjadi makin lebar.

Tapi mengapa Perempuan itu menganggapku sebagai sesuatu yang terkutuk? Risau Malam makin mendesau. Ia tak mampu menahan kejengkelannya sehingga terus mengubah dirinya menjadi gelap pekat nyaris segala hal tak terlihat. Ia ingin menghukum Perempuan itu agar tak mampu melihat apa saja. Tapi Perempuan itu terus menari. Angin terus mengikutinya dalam segala irama.

”Apa kabar, Malam…?” desah suara Perempuan itu, ”kenapa kamu selalu diam. Selalu bungkam..”

Malam terperanjat. Dadanya berdesir.

”Kenapa kamu hanya diam, ketika semua milikku lepas dari genggaman? Kenapa kamu selalu memberi aku mimpi buruk?” Perempuan itu mendesis.

Perempuan itu terus menari, dengan lantunan tembang menyayat dan terdengar makin lamat. Perempuan itu hanya berharap, Malam mau mencatat seluruh lukanya yang terpahat dalam sukmanya.

Tuesday, June 15, 2010

"Dreams Come True"

Secangkir teh manis hangat menemaniku pagi ini. Kubuka lembaran demi lembaran koran yang memang adalah kebiasaanku di pagi hari sebelum berangkat ke kantor. “Bentrokan Antara Mahasiswa Dengan Aparat Terjadi Kembali”, itulah headline news di koran pagi ini. Aku menghela nafas sekejap. Terpikir olehku sebentar…. “Kenapa mahasiswa tuh bukannya sibuk dengan impian masa depannya tetapi malah sibuk ngurusin yang tidak seharusnya diurusin”, gumamku dalam hati. Sebelumnya perkenalkan namaku Ivan, umurku.. ya terbilang sudah kepala 3 lah, saat ini aku bekerja di salah satu perusahaan negeri Jakarta.

“Pa, kok belum berangkat kerja?”, seru salah seorang dari belakangku. Dan termyata itu adalah istriku. Nia namanya, ia adalah pemberian terindah Tuhan untukku. “Agak berlebihan sepertinya”. Nia hanya sebagai ibu rumah tangga, sengaja memang tidak aku perbolehkan ia untuk bekerja sepertiku. Karena bagiku, seorang suamilah yang seharusnya mencari nafkah dengan bekerja, dan seorang istri berkewajiban sebagai orang yang bekerja di rumah. Ia adalah seorang istri yang sangat patuh kepada suami. Ramah dan baik hati itulah yang memikat hatiku untuk mempersuntingnya menjadi seorang istri.

“Iya ma, papa baru mau berangkat, soalnya tadi koran itu memanggil untuk baca sebentar”, candaku padanya. Aku pun berjalan menuju bagasi mobil. Kubuka pintu mobil dan segera menghidupkannya. Baleno merah kesayanganku dari dulu yang tak pernah kuganti. Bremmm breeemmm…. Kutancapkan gas, dan segera melaju menuju kantorku. Tak lupa aku berpamitan kepada Nia, “Ma, papa berangkat dulu ya!!”, pamitku padanya. “Hati-hati pa!!!,” sahutnya. Melajulah mobil Baleno merahku dengan kecepatan sedang. Belum sampai di ujung jalan komplek rumahku, aku melihat seorang anak yang sedang tidur di pinggir jalan. Aku tertarik dengan keadaan itu. Memarkirkan mobil sebentar di pinggir jalan dan langsung turun menghampiri anak itu. Kulihat dia hanya tidur beralaskan kardus bekas yang sudah kotor, dan baju yang sudah robek tak karuan. “Malang sekali nasib anak ini”, bisikku dalam hati. Sekejap terpikir olehku untuk mengadopsi anak ini. Tapi tak mungkin, aku takut Nia tak terima ini. Aku berusaha untuk membangunkan anak itu, tapi tak mempan. Kuambil air mineral dari dalam mobilku, segera kucipratkan ke muka anak itu, dan iapun terbangun. Ternyata anak itu pingsan, bukan tidur. Aku kaget dan bingung. Muka anak itu pucat dan sangat lemas. Diriku tertahan untuk tetap ditempat itu. “Saya dimana?, Tanya anak itu. Anak itu ternyata tak tahu kalau dia dimana. Terpikir olehku, “apakah ia lupa ingatan?”. “Oh oh tak mungkin”, pikirku sekali lagi. Aku makin penasaran ada apa dengan anak ini. Sebelum aku bertanya banyak padanya, aku sempatkan untuk memberinya minum dan makan. Kebetulan aku membawa sedikit makanan dari rumah yang tadi disediakan oleh Nia. “Kelihatannya anak ini lapar sekali”, seruku dalam hati. Tak kuat aku melihatnya. Lahap sekali itu makan makanan yang aku berikan padanya. Setelah selesai makan, aku berkeinginan untuk bertanya-tanya kepada anak itu, tapi tak mungkin di tempat terbuka seperti itu. Kuajak anak itu masuk ke dalam mobilku. Tak lama kemudian, kutancapkan mobilku menuju Restoran 24 jam dekat dari komplek rumahku. Anak itu hanya diam dan bingung sepanjang perjalanan, akupn juga jadi ikutan bingung tak tahu harus apa. Akhirnya kami tiba di Restoran. Anak itu diam dan tak sedikitpun ia mengeluarkan kata-kata apapun. “Ayo nak turun!”, seruku. Namun ia hanya diam tak berkutik. “Kamu kenapa?”, Tanyaku sekali lagi. Akhirnya aku memutuskan untuk turun dari mobil dan segera membukakan pintunya. Kubimbing anak itu turun dari mobilku dan segera masuk ke dalam Restoran. Masih tetap sama, anak itu bengong seperti benar-benar tak tahu siapa dirinya. Aku mengajaknya duduk di salah satu sisi di Restoran itu. “Kamu makan ya nak?”, tanyaku. Anak itu hanya mengangguk menandakan ia menerima permintaanku. Kupesankan ia nasi, ayam goreng, tahu, dan tempe. Tak lupa juga kupesankan ia susu. Karena ku pikir, anak itu sangat lemah dan sangat membutuhkan banyak asupan energi. Sambil menunggu pesanan datang, kuputuskan untuk bertanya-tanya kepada anak itu. Kumulai dengan menanyakan siapa namanya, namun ia tak menjawab. Seakan memang tak tahu siapa dirinya. Tapi aku yakin anak ini tahu siapa dirinya. Aku terus menanyakan sesuatu padanya agar ia ingat akan dirinya. Beberapa menit kemudian keluarlah suara dari mulutnya, dan aku mulai yakin anak itu akan menjawab dan bercerita semua yang terjadi pada dirinya. Dugaanku salah besar, anak itu hanya ingin meminta izin untuk ke toilet. Aku langsung lemas, dan segera mengantarkan anak itu ke toilet. Selagi menunggunya, aku selalu memikirkan siapa sebenarnya anak itu. Aku mulai berkhayal, mengira anak itu ada yang buang atau ia adalah anak yang terbelit hutang dan diburu oleh sekelompok preman-preman kampungnya. “Huh aku aneh-aneh saja”, gumamku dalam hati.selagi aku berkhayal, tiba-tiba anak itu menepuk pundakku. Aku kaget, dan langsung menengok anak itu. “Oh kamu sudah selesai”. Reaksiku saat kaget. Kamipun langsung menuju meja makan. Tetap saja anak itu diam tak mengeluarkan sedikit katapun. Beberapa menit kemudian makanan yang kami pesanpun datang. Ayam goreng yang masih hangat membuat selera makan kami memuncak. Akupun langsung mengambilkan nasi dan lauk untuk anak itu. Tak ada reaksi apapun dari anak itu. Kucoba untuk memaksanya makan agar ia tak lemas. Akhirnya bujukanku mempan juga. Anak itu akhirnya makan, dan aku menemaninya makan juga. Selagi ia makan, aku meminta izin padanya sebentar untuk menelpon. Aku berniat menelpon istri ku dan kantor. Kutinggalkan ia sejenak, dan aku menjauh darinya. “Hallo, ini papa ma”, sapaku saat menelpon istriku. “Ada apa pa? tumben papa telpon jam segini?”, Tanya istriku kaget. Kuceritakan semua kejadian yang aku alami pagi ini. Dari mulai aku menemukan anak itu di pinggir komplek rumahku hingga saat ini aku makan dengannya. “Papa harus apa ya ma?”, tanyaku pada istriku. Jujur aku bingung harus bagaimana dengan anak itu. Sekejap istriku berpikir. “Gini saja lah pa, bagaimana kalau nanti papa bawa pulang saja dulu anak itu dan kita berdiskusi di rumah, mama rasa tidak enak kalau kita membicarakan hal ini di telpon pa”, singkat istriku. Aku rasa benar juga apa kata istriku. “Ok ma, nanti papa coba tanyakan pada anak itu, dan sebisa mungkin papa coba ajak ia ke rumah kita”, sahutku pada istriku. Kututup telpon dan segera kusambung kembali telpon ke kantor. Namun tak ada jawaban. Kucoba kembali, dan ternyata tak ada jawaban lagi. Akhirnya kuputuskan untuk menelpon temanku Deri. Tut tut tut……. Kutunggu sebentar dan tak ada jawaban sedikitpun. Kucoba kembali, akhirnya diangkat. “Hai Der, lagi dimana lo?”, tanyaku sebentar. “Gue lagi di kantor Van, kenapa?”, tanyanya. “Gini loh Der, kayaknya gue gak bisa ke kantor hari ini, ada sedikit masalah yang harus gue selesain hari ini di rumah, jadi gue minta tolong sama lo untuk kasih kabar ke kantor, soalnya tadi gue coba telpon ke kantor sibuk terus Der”, jelasku padanya. “Oh ok Van, nanti gue sampein deh”, jawabnya. “Thanks ya Der”, sahutku kembali. Kututp telponku dan aku kembali pada anak itu. Kupercepat langkangku menuju meja makan, dan kulihat anak itu masih makan dengan santai. “Maaf ya nak saya agak lama”, tanyaku pada anak itu. “Gak apa-apa kok pak”, jawab anak itu. Aku sedikit bengong mendengar anak itu menjawab. Dan kupikir, akhirnya anak itu mengeluarkan suara juga. Selagi aku makan, anak itu bertanya padaku. “Pak, kenapa bapak mau membantuku dan membawaku?,” tanyanya. Aku kaget mendengar pertanyaannya. “Saya rasa memang ini yang hanya bisa saya lakukan untukmu nak, karena saya tidak tahu harus membawamu kemana lagi”, jawabku singkat. Anak itu tersenyum padaku, dan mengucapkan terima kasih padaku. Aku hanya membalas senyumannya. Setelah selesai makan, aku mencoba mengajak anak itu ke rumahku, dan ia setuju. Sebelum meninggalkan rumah makan itu, aku membayar terlebih dulu ke kasir dan anak itu menungguku di luar rumah makan itu. Selesai membayar, aku menghampiri anak itu dan mengajaknya masuk ke mobilku. “Ayo nak kita berangkat!!”, ajakku. Kutinggalkan rumah makan itu, dan aku melaju menuju rumahku. Sepanjang perjalanan aku mencoba mengajaknya ngobrol, dan anak itu sudah mau menjawab pertanyaan yang aku tanyakan padanya.

****

Sesampainya di rumah, aku mengajak anak itu masuk ke rumahku. “Mari nak masuk, jangan sungkan-sungkan”, rayuku padanya. Perlahan anak itu mulai mau menerima bujukanku. Tidak seperti pertama kali kami bertemu tadi, yang hanya diam tak menjawab pertanyaanku. Setibanya di dalam rumah, istriku Nia menyambut kedatangan kami. “Loh papa sudah pulang?”, tanyanya padaku. “Iya ma”, “oh ya ma ini anak yang papa bilang tadi di telpon”, jawabku. Kuperkenalkan anak itu pada istriku dan istriku menyambut kedatangan anak itu dengan amat sangat senang. “Ayo nak duduk dulu”, bujuk istriku pada anak itu. Setelah anak itu duduk di ruang tamu, Nia segera kembali ke dapur untuk menyiapkan minuman untuknya. Saat Nia menyiapkan minuman untuknya, aku meminta izin zebentar padanya untuk mengganti pakaian kerjaku. “Sebentar ya nak, saya mau ganti pakaian dulu”. Anak itu hanya menganggukkan kepalanya tanda ia mempersilahkanku untuk mengganti pakaian. Kutinggalkan ruang tamu itu dan aku pergi menuju kamar tidur. Ketika hendak memasuki kamar tidur, aku melihat anak itu diam dan menangis. Tak tahu apa yang ada dipikirannya. Dan untungnya kulihat istriku sudah menuju ruang tamu itu. Akupun memepercepat gerakanku untuk mengganti pakaian. Selang beberapa saat, akupun langsung menuju ke ruang tamu kembali. Dan kulihat Nia masih menemani anak itu. Anak itu masih menangis, dan tak sengaja aku mendengar anak itu sedang bercerita sesuatu pada Nia. Hanya samar-samar suara yang ku dengar. Kebiasaanku dari dulu hingga sekarang, apapun masalah yang ada dihadapanku, pasti aku pikirkan hingga masalah itu selesai. Dan kini, masalah anak itu menjadi tanggung jawabku. Karena aku tak tahu siapa anak itu, dan dari mana ia datang. Pikiranku langsung mengarah pada hubungan pernikahanku dengan Nia. “Apakah ini pertanda dari Tuhan, setelah sekian lama aku dan Nia belum juga dikaruniai seorang anak?”, pikirku dalam benak. Kuhentikan menghayalku itu, dan kupercepat langkahku menuju ruang tamu. “Ada apa kamu nak? Kenapa menangis?”, tanyaku pada anak itu setibanya di ruang tamu. Anak itu langsung mengusap air matanya, dan diam. Istriku melirikku tanda ia mengingatkanku untuk tidak bertanya terlalu jauh dulu tentang anak itu. Aku hanya mengangguk, tanda aku menyetujui maksud baik Nia. “Oh iya, kamu sudah makan nak?”, Tanya Nia pada anak itu. “Saya sudah makan bu”, jawab anak itu. Nia tersenyum dan memeluk anak itu. Aku yakin Nia sangat menyayangi anak itu walaupun ia belum mengenalnya. Karena yang aku tahu, Nia adalah wanita yang sangat mencintai anak kecil dari dulu hingga sekarang. Apalagi setelah kami menikah, kami belum dikaruniai anak oleh Tuhan. Nia tak sanggup menahan air matanya. Saat ia memeluk anak itu, keluarlah air matanya. Segera kutinggalkan Nia dan anak itu berdua. Kuputuskan untuk pergi ke teras rumahku. Di tempat itu biasanya aku memikirkan apa yang sedang terjadi pada diriku ataupun masalah yang lain. Karena aku pikir, tempat itu adalah tempat yang paling nyaman dan lebih fresh di bandingkan tempat atau ruang-ruang lain yang ada di rumahku. Kududuk di salah satu sudut teras itu, meja bulat dan kursi santai yang menemaniku seakan kian mengajakku mengobrol. Aku yakin masalah ini pasti akan selesai. Aku berusaha mencari jalan keluarnya, dan kuputuskan untuk menelpon temanku yang berprofesi sebagai polisi. Kupikir ini adalah jalan yang terbaik untuk mengetahui siapa anak itu sebenarnya. Tut tut tut….. suara telpon yang kusambungkan pada temanku itu. Vino namanya, ia adalah teman karibku selagi aku sekolah dulu, tepatnya saat aku duduk di bangku SMA. Kini ia sudah menjabat sebagai kapten. Aku yakin ia bersedia membantuku untuk menyelesaikan masalah ini. “Hallo, Vino di sini”, sapa Vino. “Hallo Vin, ini gue Ivan… masih inget gue kan lo??,” sapaku balik padanya. “Hai van, apa kabar? Iya gw masih lo lah, masa gue lupa”, jawabnya. Kuputuskan untuk tidak terlalu banyak bercerita tentang diriku atau dirinya, aku langsung menceritakan tentang apa yang sedang kualami saat ini. Kuceritakan dari aku bertemu anak itu higga saat ini anak itu ada dirumahku. Vino hanya diam mendengarkan penjelasan dariku. Hingga tiba saatnya, dan akhirnya ia mengeluarkan suara. “Gini aja Van, besok kita ketemu di Restoran tempat biasa kita dulu kumpul aja, gimana?”, tanyanya. Dan akupun menyetujui pendapatnya, karena aku pikir tidak mungkin juga hal ini dibicarakan di rumah atau di telpon seperti sekarang. Kuakhiri pembicaraanku dengan Vino dan kuputuskan untuk kembali ke ruang tamu. Sesampainya aku di ruang tamu, tak kutemukan Nia dan anak itu. Mungkin Nia sedang mengantarkannya ke kamar tidur, pikirku dalam hati.

Kulihat jam dan ternyata sudah pukul 17.00. Kuambil koran yang ada diatas meja, dan kubaca. Selagi kumembaca koran itu, tiba-tiba Nia memanggilku. Kuletakkan koran itu diatas meja, dan segera aku menuju suara dimana Nia memanggilku. Ternyata ia di kamar tidur tamu. “Ada apa ma? Mengagetkan saja”, tanyaku. Kulihat anak itu sedang tidur dan Nia menemaninya. “Sepertinya aku suka pada anak ini pa!!”, jawab Nia. Sambil tesenyum Nia melontarkan kata-kata itu padaku. Aku hanya diam memandang anak itu. “Kamu yakin ma?,” tanyaku pada Nia. Nia hanya mengangguk menandakan dia memang suka pada anak itu. Tapi aku yang sekarang bingung, karena aku belum yakin siapa anak itu sebenarnya, aku juga gak bisa secepat ini mengambil keputusan untuk memelihara anak itu. Tanpa ku tegor kembali Nia, aku keluar dari kamar itu. Ku kembali duduk di ruang tamu, dan memikirkan apa yang barusan dibicarakan dengan Nia. Saat ini pikiranku hanya terpaku pada anak itu, tapi aku takut kalau ternyata anak itu hanya suruhan orang jahat yang memang ingin menjebakku. Huuhhh,,,,, ku hela nafas pertanda aku sudah bingung dengan masalah ini. Niatnya ingin menolong, kenapa jadi kayak gini ya??, pikirku dalam hati. Selagi mmikirkan anak itu di ruang tamu, tiba-tiba bel rumah berbunyi. Ting tong, ting tong….. Siapa yang datang ya? Perasaan gak ada janji sama siapapun deh, tanyaku dalam hati. Kupercepat langkahku menuju pintu ruang tamu, dan segera kubuka pintu itu. Kulihat seorang pria mengenakan seragam polisi berdiri tepat di depan pintu ruang tamuku. Aku tambah bingung dan bertanya-tanya dalam hati, siapa pria ini?. Tak lama kemudian, pria itu berbalik badan ke arahku, dan ternyata ia adalah Vino. Tapi aku tetap bingung, awalnya Vino tidak tahu dimana aku tinggal. “Hai Van, akhirnya sampai jug ague di rumah lo”, sapa Vino. Aku tersenyum melontarkan kesenangan padanya. “Kok lo gak kasih tahu gue dulu kalau mau ke sini Vin? Perasaan gue lo gak tahu rumah gue deh Vin, kok sekarang tiba-tiba bisa ada di sini?”, tanyaku bingung padanya. Ia hanya tersenyum. Kupersilahkan Vino masuk menuju ruang tamu. “Duduk Vin, sebentar gue tinggal ke dalam ya”, kuberjalan menuju kamar tidur tamu. Berusaha mencari Nia, ternyata tak ada di kamar itu. “Ma, dimana kamu?”, teriakku memanggil Nia. Ternyata kutemukan Nia ada di dapur. Nia sedang memasak ternyata. “Ada Vino ma di ruang tamu”, sambutku pada Nia. Tapi ia bingung dan seperti berpikir siapa Vino. Memang ia tak pernah tahu siapa Vino, karena ia belum pernah bertemu sebelumnya dengan Vino. Kuajak Nia untuk bertemu dengannya, kami pun beranjak dari dapur dan menuju ruang tamu. “Vin, kenalin ini istri gue!”. Vino pun berdiri dari posisi duduknya dan berkenalan dengan Nia. Tapi kulihat Nia seperti berpikir saat melihat Vino. “Kamu Vino teman les ku dulu ya?, Sepertinya aku taka sing melihat mukamu Vin”, tanya Nia pada Vino. Kulihat Vino juga seperti berpikir. “Hahahaha aku ingat sekarang, kamu Nia yang dulu sering duduk di belakangku itu kan kalau sedang les?”, Tanya Vino pada Nia. Aku ikut tertawa bersama mereka, karena aku juga memang baru tahu ternyata Nia dan Vino sudah saling kenal sebelumnya. “Duduk lah Vin, sebentar saya ambil minum dulu!”, seru Nia pada kami. Nia meninggalkan ruang tamu sedangkan aku dan Vino kembali mengobrol. “Lo tahu dari mana rumah gue Vin?, setahu gue lo gak tahu rumah gue deh”, tanyaku pada Vino. “Oh iya gue belum cerita sama lo ya Van, gue tahu rumah lo dari Jeremi, temen SMA kita dulu, ingat? Nah tadi setelah lo telpon gue, gue langsung telpon Jeremi buat nanya alamat rumah lo, dan ternyata dia tahu, ya udah gue langsung jalan aja ke alamat yang dikasih dia, dan ternyata benar ini alamat rumah lo”, jelas Vino padaku.

****

Malam ini waktu menunjukkan pukul 19.00, aku rasa perut sudah menunggu untuk diisi. Aku mengajak Vino untuk makan malam bersama, kebetulan Nia sudah menyediakan makan malam untuk kami di ruang makan. Sesampainya kami di ruang makan, kulihat sudah tertata lauk pauk yang tak sabar ingin kusantap, karena memang kebetulan perutku sudah lapar sekali. “Mari kita makan!”, ajak Nia pada kami. Akupun memepersilahkan Vino untuk duduk dan makan bersama aku dan Nia. “Sini pa piringnya!”, pinta Nia un tuk mengambilkan nasi untukku. “Ayo Vin, gak usah malu-malu!”, seruku pada Vino ketika Vino hendak mengambil nasi. Ia hanya membalas dengan senyuman. Tak lama, Nia memberikan piringku yang tadi kosong, sekarang sudah terisi oleh nasi serta lauk pauknya. “Wow mantab!!”, gurauku dalam hati. Kulihat diantara nasi itu ada ayam goreng kalasan, tahu dan tempe bacem, dan tak lupa juga dengan sambel buatan Nia yang sangat aku sukai. “Oh iya ma, mana anak itu? Gak diajak makan sekalian?”, tanyaku pada Nia. Tetap saja aku masih kepikiran anak itu walaupun di depanku sudah ada makanan yang sangat amat enak. “Oh iya pa, mama lupa! Sebentar ya!”, jawab Nia. Akupun kembali memakan makanan yang dari tadi sudah menungguku. Kulihat Vino juga sudah asik menyantap makan malamnya. “Nambah Vin!,” seruku pada Vino. Vino menghentikan makannya sejenak. “Ini kan belum habis Van, masa iya gue mau nambah!,” jawab Vino. Aku hanya membala dengan senyuman kecil. “Ya kali Vin, dulu kan lo paling doyannya makan, makanya gue tahu lo itu dah gak punya malu buat masalah makanan mah!,” ledekku. Vino tertawa sambil mengunyah makanannya yang masih ada di dalam mulut. Aku tahu Vino itu teman SMA ku yang paling suka makan, gak ada kenyangnya deh kalau makan. Waktu SMA, jam istirahat tuh benar-benar waktu yang dinanti-nanti Vino, makanan yang ada di kantin pasti di cobain semua sama dia. Agak lebay sih, tapi ya begitulah Vino. Kenapa aku jadi ingat masa SMA. “Heheheheheh”…….. “Kenapa lo Van?”, tanya Vino. Vino bingung melihatku tertawa sendiri saat makan. “Haha, iya Vin, gue tadi tiba-tiba inget masa SMA dulu!,” jawabku. Vino mengernyitkan jidatnya, tanda ia bingung apa yang tadi ada dibenakku. “Lo inget apa Van?,” tanya Vino padaku. Ternyata dia penasaran juga. Sejenak aku diam tak menghiraukan pertanyaannya. “Van kok lo diem sih?”, tanyanya kembali. Ini yang aku tunggu-tunggu, waktu dimana ia mulai penasaran banget tentang apa yang aku pikirkan tadi. “Hahahah lo penasaran Vin? Gak segitunya juga kali. Gue cuma keinget zaman SMA dulu, zaman dimana lo doyan banget ngabisin makanan yang ada di kantin. Heheheh!”, jelasku padanya. Tak lama ia tertawa geli. “Lo tuh Van, inget aja sih sama hal itu, gue jadi ngerasa dulu tuh gue emang gak tahu malu ya!”, jelasnya. Tak lama kemudian Nia datang bersama anak itu. Ia menggandeng anak itu serasa menggandeng anaknya sendiri. Kurasa Nia benar-benar ingin sekali menginginkan seorang anak. Nia membimbing anak itu untuk duduk dan makan bersama kami. “Van, ini anaknya?”, tanya Vino. Kuanggukkan kepala kepada Vino. Nia mengambil piring dan menuangkan nasi ke piring tersebut, setelah itu ia memberikannya kepada anak itu. Sebenarnya aku sangat senang melihat Nia seperti itu. Memang hampir 3 tahun pernikahan kami, dan Nia belum juga hamil. Tapi aku dan Nia selalu bersabar dan hanya berusaha semampu kami. Kulihat anak itu tersenyum kepada Nia saat Nia memberikan piring yang berisi nasi kepada anak itu. “Kamu mau dengan lauk apa nak?”, tanya Nia pada anak itu. Anak itu terlihat bingung, dan sesekali melihat Vino. Mungkin dia pikir Vino itu siapa, kok tiba-tiba ada polisi datang kerumahku. Ia menunjuk ayam goreng kalasan, dan Nia mengambilkan untuknya. Tak lupa Nia juga memberinya tahu dan tempe. Kulihat anak itu makan dengan lahap, dan sangat sopan. Aku rasa tak salah jika Nia sangat menyukainya. Akupun kembali menikmati makananku, begitupun dengan Nia, Vino, dan anak itu.

****

Selesai makan, aku dan Vino menuju ruang tamu kembali. Sedangkan Nia dan anak itu masih berada di ruang makan. Seperti biasa, Nia merapihkan meja makan setelah kami selesai makan. Aku dan Nia memang sengaja tidak menggunakan jasa pembantu, kami selalu ingin terbiasa melakukan pekerjaan rumah bersama. Ku kembali mengobrol dengan Vino di ruang tamu. “Van, sepertinya anak itu anak yang baik!”, seru Vino sambil mengambil cemilan yang ada di atas meja. “Aku tahu Vin, tapi aku tetap ingin mengetahuinya lebih jauh dulu siapa sebenarnya dia?”, jawabku. Aku rasa memang anak ini harus dicari tahu dulu keberadaannya, saat ini aku masih belum 100% yakin. Vino menceritakan sedikit kasus yang pernah ia tangani sebelumnya. Ia bilang, “waktu ia lagi dinas di Surabaya, ada anak kecil yang betul-betul “mirip” dengannya. Anak itu menghampiri Vino selagi ia duduk di warung kecil pinggir jalan. Anak itu menyebut Vino dengan sebutan “ayah”, Vino langsung mengernyitkan dahi dan bengong, ia bingung kenapa anak itu memanggil Vino dengan sebutan “ayah”. Vino pun langsung menghampiri anak itu yang kebetulan tak jauh dari tempat duduk Vino tadi. Sesampainya Vino di tempat anak itu berdiri, Vino bertanya kenapa ia memanggil Vino dengan sebutan itu. Anak itu hanya diam, dan memandang Vino. Sekali lagi Vino bertanya pada anak itu, namun hal yang sama masih dilakukan anak itu. Semakin bingung Vino dibuatnya. Namun Vino sabar, dan justru mengajak anak itu untuk duduk di warung kecil yang tadi Vino singgahi. Tiba-tiba anak itu mengelurkan suara dan berkata pada Vino tentang kenapa ia memanggil Vino “ayah”. Anak itu bilang Vino sangat mirip dengan ayahnya yang sudah meninggal beberapa bulan yang lalu. Vino kaget dan berusaha bertanya secara mendalam kepada anak itu. Anak itu bercerita tentang ayahnya kepada Vino, ia bilang ayahnya dulu juga bekerja sebagai polisi. Namun, karena ayahnya terserang penyakit jantung dan tak lama kemudian meninggal, anak ini ternyata belum yakin kalau ayahnya memang sudah meninggal. Saat ini kamu tinggal sama siapa?, tanya Vino pada anak itu. “Aku tinggal bersama tanteku yang tak jauh rumahnya dari sini, tapi aku tetap ingin mencari ayahku, karena aku yakin ayah masih ada untukku”, tutur anak itu. Selagi anak itu menje;askan tentang ayahnya, Vino teringat akan dirinya dulu. Ia juga pernah merasakan hal yang sama seperti anak itu. Ayah Vino meninggal dalam waktu yang sangat mendadak. Tidak sakit dan tidak ada kejadian yang tragis. Oleh sebab itu Vino depresi berat, hingga akhirnya selalu mencari dimana ayahnya berada. Vino sadar kalau ternyata anak ini sedang mengalami hal yang sama seperti dirinya dulu. Hingga saat ini, hubungan Vino dan anak itu terjalin sangat baik”. Sedari tadi Vino bercerita, aku hanya menjadi seorang pendengar sejati, yang hanya sesekali mengangguk. “Dasyat juga ya Vin!”, tuturku. “Bagian mana yang bisa lo bilang dasyat Van?”, tanyanya. Aku menjawab pertanyaannya dengan detail, dan ku kuatkan hatiu untuk merawat anak yang tadi pagi aku temukan itu.

“Lagi pada asik ngobrol nih kayaknya!”, sapa istriku lembut. Kutengok menyamping seiring dengan datangnya suara itu. Dan kulihat Nia bersama anak itu. Nia mengajak anak itu untuk duduk dan ngobrol bersama kami. “Namamu siapa?”, tanya Vino pada anak itu. Namun anak itu hanya mengangkat pundaknya, tanda ia tak tahu siapa namanya. Anak itu langsung melirik Nia. Dan Nia melemparkan senyuman pada anak itu. Akupun ikut memberikan senyuman kepada anak itu. “Gimana kalau om kasih kamu nama?”, hibur Vino pada anak itu. Lagi-lagi ia melirik Nia. Dan tak lama, ia mengangguk tanda ia bersedia. Ridho, itulah nama yang diberikan Vino untuk anak itu. “Nama yang bagus Vin! Tumben lo bisa mikir nama kayak gitu?”, sahutku. “Soalnya gini Van, anak ini kan karunia dari Tuhan buat lo sama Nia, ya gak salah kan kalau gue ngasih namanya Ridho?”, jelasnya. Aku hanya mengangguk padanya. Kulihat anak itu membisikkan sesuatu kepada Nia. Namun aku tak tahu apa yang dibisikkan anak itu pada Nia. Tak lama Nia mengambil cemilan yang ada di atas meja. Dan aku tahu, ternyata Ridho menginginkan cemilan itu. Semakin ku yakin untuk merawat anak itu. “Van, gue balik dulu ya, soalnya gue harus ke Polda lagi nih!”, serunya padaku saat ia bangun dari sofa ruang tamuku. “Buru-buru amat sih Van? Tapi lo jangan sungkan-sungkan buat main lagi ke rumah kami ya!”, timpalku. Vino pun berpamitan kepada Nia dan Ridho. Ia berkata pada Ridho agar selalu menjadi anak yang patuh kepada aku dan Nia, tak lupa Vino juga mengatakan kepadaku agar menerima anak itu apa adanya saat ini. Vino pun meninggalkan ruangan itu. Aku, Nia, dan Ridho mengantarnya hingga pintu pagar rumah kami. “Hati-hati ya Vin!” seruku. Ia pun melambaikan tangannya pada kami selagi ia mulai mengemudi mobil dinasnya itu. Kami kembali masuk ke dalam. Selagi berjalan menuju dalam rumah, Ridho memegang tanganku. Akupun mengehentikan langkahku. “Terima kasih ya om untuk semuanya!”, ujarnya padaku. Aku tersenyum dan memeluknya. Kukatakan padanya untuk tidak memanggilku om, dan kusuruh ia untuk mulai memanggilku Ayah dan memanggil Nia dengan sebutan Bunda. Sebutan itu yang dari dulu sangat diinginkan oleh Nia jika sudah memiliki seorang anak. Kurasakan Ridho memelukku dengan erat sekali. Kuajak Ridho untuk masuk ke dalam, dan Nia menghampiri kami.

****

Waktu menunjukkan pukul 21.00, aku rasa waktu yang tepat untuk istirahat. Walau besok di kalender tanggal merah dan berarti aku libur untuk ke kantor, namun mataku sangat lelah hari ini. Kutatap Ridho dan mengajaknya untuk istirahat karena hari memang sudah malam. Namun kulihat Ridho masih ingin mengobrol denganku dan Nia. Ia menarik tanganku untuk duduk di ruang keluarga. Kuikuti keinginannya, dan kuambil remote tv untuk kunyalakan sembari aku mengobrol bersamanya. Ia duduk di sampingku, dan Nia duduk di sampingnya, posisi kami sudah seperti orang tua yang mengapit anaknya. Kulihat Nia sangat senang hari ini. “Kamu mau ngobrol apa nak?”, tanyaku pada Ridho. Ia berpikir sejenak. “Oh iya sebentar, bunda ambil cemilan dan minuman dulu ya!”, seru Nia. Ia memang tahu kebiasaanku kalau aku sedang asik menonton tv. Anak itu mengangguk pada Nia. Nia meninggalkan ruang keluarga untuk mengambil cemilan serta minuman. “Ayah, aku sangat senang sekali hari ini walau aku tak tahu siapa aku!”, Ridho berkata padaku sambil memelukku. Aku terharu mendengarnya. Hushh…. “Kamu kan sekarang sudah punya nama, jadi kamu sudah tahu siapa kamu sekarang!” timpalku. Tiba-tiba anak itu meneteskan air mata. Aku megangkat dagunya, dan kulihat ia menangis. “Kamu kenapa Dho?”, tanyaku. Ia terdiam dan dibalasnya pertanyaanku tadi dengan senyuman. “Aku benar-benar merasa sekarang aku punya keluarga yang menyayangiku, tapi aku tak tahu dulu aku seperti apa!”, jawabnya padaku. Ternyata ia menangis karena bahagia. Syukurlah!!... Pikirku dalam benak. Tak lama kemudian Nia datang. “Ayo…. Siapa yang mau popcorn?”, teriak Nia selagi ingin duduk di samping Ridho. Tanpa sadar, aku dan Ridho bersamaan mengangkat tangan kami. Aku mau!!…. Teriak kami berdua. “Wah kalian kompak ya!”, seru Nia. Aku dan Ridho saling melirik. Nia memberikan popcorn itu kepada kami. Kusetel DVD baruku yang memang belum sempat aku putar sekitar seminggu yang lalu. “Prince of Persia” itulah judul film yang akan kami tonton. Setelah kuputar DVD itu, aku kembali duduk disamping Ridho. Kulihat ia asik sekali dengan popcorn-nya. “Kamu suka?”, tanyaku sambil menunjuk kea rah popcorn itu. Ia mengangguk sambil mengunyah beberapa popcorn. Nia melemparkan senyuman manisnya kepadaku. Film pun mulai. Kami berusaha untuk konsentrasi dengan film yang sedang kami tonton. “Ok, waktunya nonton!”, teriakku. Film yang berdurasi kira-kira 2 jam membuat kami terkadang menguap, karena memang tidak pas waktunya untuk menonton. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00. Di tengah-tengah film, Ridho sudah banyak sekali bertanya-tanya. Aku berpikir, kurasa anak ini anak yang cerdas dan berbakat. Akupun menjawab pertanyaan Ridho dengan tidak serius alis bercanda, karena aku pikir dia tidak akan tahu kalau aku bercanda. Dugaanku salah! Ternyata benar dia anak yang cerdas. Dia membalikan jawaban-jawabanku dengan pertanyaan yang lebih ribet. Akupun diam tak menjawab pertanyaannya. Ia kesel dan melontarkan kata-kata “kok aku tanya gak dijawab yah?”, tanyanya. Sambil menguap, aku membalikkan mukaku ke arahnya. “Ayah udah ngantuk ya?”, tanyanya kembali. Kulihat Nia sudah tertidur pulas. Tapi Ridho belum juga ngantuk dan sepertinya ia masih menikmati film itu. “Iya nih ayah udah ngantuk banget Dho!”, jawabku sambil beberapa kali menguap. Huhh…. Hela panjang nafas Ridho. Ia merasa aku tak bisa menemaninya menonton. Mataku sudah tak bisa diajak kompromi lagi. Pertanda memang aku harus tidur. “Besok lagi ya Dho nontonnya, ayah janji besok akan menemanimu nonton!”, rayuku padanya. Ia setuju dengan rayuanku. Aku bangkit dari tempat dudukku dan segera mematikan DVD itu. Kubangunkan Nia namun tak bisa. Kulihat ia memang sudah pulas sekali, dan tak tega aku membangunkannya. Kuangkat Nia dari bangkunya dan kupindahkan ia ke kamar. “Sebentar ya Dho! Ayah antar Bunda dulu ke kamar!”, seruku pada Ridho. Ridho mengangguk. Aku meninggalkan Ridho dan membawa Nia untuk pindah ke kamar. Setelah itu, aku kembali lagi ke ruang keluarga dan kulihat Ridho juga sudah tertidur. Tanpa kubangunkan dia, kuangkat untuk kupindahkan ke kamarnya. Huhh…. Aku merasa lelah sekali hari ini. Kuletakkan Ridho di atas tempat tidurnya. Selagi aku akan berjalan keluar, tiba-tiba Ridho menarik tanganku. “Makasih ayah!”, serunya. Aku tersenyum dan mencium keningnya. “Selamat malam Ridho, tidur yang nyenyak ya!”, balasku. Kumatikan lampu kamarnya dan akupun segera pergi ke kamar tidurku. Badanku sangat terasa lelah sekali, rasanya hanya ingin tidur tanpa ada yang mengganggu lagi. Setibanya di depan pintu kamarku, kubuka pintu itu dan aku langsung masuk. Kuganti pakaian harianku dengan piyama tidurku. Stelah itu, langsung kurebahkan badanku di atas ranjang tempat tidurku. Kulihat Nia belum berubah posisi tidur. Aku yakin ia memang sangat lelah juga. Sebelum tidur, kumatikan lampu terlebih dulu. Aku kembali ke tempat tidurku, dan segera memejamkan mata. Tak ada lagi waktu untuk membuka mata malam ini. Suara jangkrik dan serangga-serangga di sekeliling taman rumahku membuat tidurku semakin nyenyak, seakan aku berada di sebuah kampung yang sangat tenang dan jauh dari polusi kota.

****

“Pa, bangun!!”, teriak Nia membangunkanku. Tapi mataku serasa tak ingin dibuka terlalu cepat. Kutarik selimut untuk menutupi mukaku. Tak lama Nia menarik kembali selimut itu. “Pa jangan kebangetan dong malesnya!!”, bentak Nia. Namun tak kuhiraukan. Huhhhh… Hela nafas panjang Nia kudengar. Namun sesekali kuintip dari balik selimut. Akhirnya Nia tak mempan membangunkanku. Nia pun keluar dari kamar, dan kulihat ia menuju kamar tidur Ridho. Kulihat jam masih menunjukkan pukul 06.15, bukannya waktu yang tepat untuk bangun. Apalagi ini hari libur, jadi aku harus bisa memanfaatkan waktu ini. Ku balikkan badanku menuju arah jendela kamar yang memang kebetulan belum dibuka oleh Nia. “Ridho……!!”, suara teriakkan Nia. Suara itu membuatku tak bisa kembali tidur. Kuputuskan untuk bangun dari tempat tidur, dan langsung menuju dimana suara Nia berada. Dan kulihat Nia masih di depan pintu kamar Ridho, dan ia masih memanggil – manggil Ridho dari luar kamar. “Kamu ngapain sih ma??”, tanyaku pada Nia dengan mata masih sangat mengantuk. Ini semua karena aku tidur terlalu malam, dan alhasil jadinya begini. “Ridho kok gak bangun-bangun ya pa?”, Nia bertanya dengan nada bingung. Kulihat muka Nia seperti orang yang ketakutan bercampur bingung. Kuputuskan untuk membuka kamar Ridho. Crekk…. Kulihat memang Ridho masih tertidur dengan pulas. Aku berusaha untuk menenangkan Nia. “Tuh kan ma! Dia masih tidur, mungkin dia masih lelah.”, seruku pada Nia. Tapi tetap saja kulihat Nia masih sedikit ragu dan bingung. “Tapi aku takut dia kenapa – napa pa!”, jawab Nia. Kubaringkan tubuhku di atas kursi yang terletak di sudut kamar Ridho. Kurasa tubuhku masih perlu istirahat. Nia tetap pada posisinya di atas ranjang tempat tidur Ridho. “Sudahlah ma, aku yakin Ridho gak papa!”, bujukku. Nia hanya memandangku tanpa mengeluarkan sedikit kata. Kulihat Nia mencoba membangunkan Ridho sekali lagi. “Dho, bangun nak!”, seru Nia membangunkan Ridho. Dan kulihat Ridho membuka matanya sedikit. Tapi kulihat juga Nia memegang kepala Ridho, yang terkadang turun ke jidat Ridho. Tiba – tiba Nia berteriak kepadaku “pa, Ridho demam nih!”. Aku langsung terbangun dari tempat dudukku, dan menghampiri Nia. Kupegang jidat Ridho, dan ternyata memang panas sekali. “Kita bawa ke dokter ya ma! Sebentar papa ganti pakaian dulu!”, seruku.

Waktu menunjukkan pukul 07.30, aku tak yakin dokter dekat rumah kami praktek. Karena ini hari libur, terkadang dokter itu tak praktek. Kuputuskan untuk langsung membawa Ridho ke Rumah Sakit. Aku buru – buru menggendong Ridho dan segera memasukkannya ke dalam mobil. Tak lama Nia datang dan segera masuk ke dalam mobil. Ku stater mobil, dan kutancap gas segera untuk menuju Rumah Sakit. Sesampainya di gerbang komplekku, kulihat jalanan agak ramai dan padat. Aku berusaha untuk secepat mungkin tiba di Rumah Sakit. Aku takut Ridho semakin parah demamnya. Kulihat Nia pun kebingungan melihat Ridho seperti itu. Kepercepat kecepatan mobil sesegera mungkin. Untungnya Rumah Sakit tidak jauh dari komplek rumahku, jadi sedikit padat tak masalah.

Setibanya di depan pintu masuk Rumah Sakit, kusuruh Nia untuk membawa Ridho terlebih dulu masuk ke dalam. Dan aku memarkirkan mobil di parkiran. Kulihat parkiran sangat ramai hari ini. Yap!!.... Untung saja ada parkiran kosong dekat dengan pintu masuk. Kulangsung parkirkan mobilku, dan segera aku keluar dari mobil untuk segera menemui Nia. Kupercepat langkahku menuju Nia dan Ridho. Sesampainya di dalam, ternyata Nia masih menunggu di ruang tunggu bersama Ridho yang tidur di pangkuan Nia. “Belum daftar ma?”, tanyaku. “Udah pa, tapi agak lama nih!”, jawab Nia. Beberapa menit kemudian suster memanggil nama Ridho. Aku dan Nia segera membawa Ridho masuk ke ruang periksa dokter. “Selamat pagi, siapa yang sakit?”, tanya dokter itu pada kami. Kududukan terlebih dulu Ridho di tempat duduk. “Ini dok anak kami!”, jawabku. Dari tadi kulihat Nia memang sangat panik. “Ayo kita periksa dulu!”, seru dokter itu. Kubantu Ridho untuk naik ke atas tempat tidur. Dan tak lama dokter datang mendekatinya. “Sebentar ya dokter periksa dulu!”, pinta dokter itu. Setelah memeriksa bagian badan Ridho dengan stethoscope, ia meminta Ridho untuk membuka mulutnya. “Coba buka mulutnya nak!”, pinta dokter itu pada Ridho. Ridho sangat menurut dengan apa yang disuruh oleh dokter itu. Nia datang mendekati Ridho. Mungkin ia tak tega melihat Ridho dalam kondisi seperti ini. “Ok kita selesai, sekarang kamu boleh turun!”, sahut dokter itu. Aku membantu Ridho untuk turun dari tempat tidur itu dan membimbingnya berjalan menuju meja dokter. “Bagaimana dok?”, tanya Nia. Dokter itu terdiam sejenak. Aku yang sedang membimbing Ridho untuk duduk di bangku jadinya ikut memperhatikan ekspresi dokter itu juga. “Dok?”, tanya Nia kembali. Dokter itu malah menghela nafas. “Begini bu, saya belum bisa memastikan penyakit anak ini, karena saya harus menjalani pemeriksaan dalam pada anak ibu”, jawab dokter itu. Semakin bingung kulihat wajah Nia. “Maksud dokter apa? Ada apa dengan anak saya dok?”, timpah Nia. Aku berusaha untuk menenangkan Nia, dan untungnya Ridho memang belum tahu apa-apa tentang masalah seperti ini. “Ibu dan bapak harus bersabar, saya akan menyuruh suster untuk memeriksa Ridho lebih dalam lagi, agar saya dapat memastikan penyakit yang diderita anak ibu dan bapak”, jelas dokter itu. Dokter itu menelpon suster untuk datang ke ruang praktek-nya. “Permisi dok, ada apa ya?”, tanya suster itu. Dokter itupun menyuruh suster untuk masuk. “Tolong kamu antarkan anak ini dan kedua orangtuanya ke ruang Lab, saya akan menjalani pemeriksaan tindak lanjut terhadap anak ini”, suruh dokter itu. Suster itupun menurut, dan kami akhirnya keluar dari ruangan dokter itu untuk menuju ke ruang Lab. Dalam perjalanan menuju Lab, aku dan Nia seringkali bertanya-tanya tentang ada apa dengan Ridho. “Pa, kenapa dengan Ridho ya?”, tanya Nia. Aku yang kebetulan menggendong Ridho melirik ke arah Nia dan menjawab pertanyaannya “kita lihat saja nanti hasilnya ya ma, kita berdoa supaya Ridho gak ada apa-apa”, jawabku. Nia terus meneteskan air mata sepanjang perjalanan menuju Lab. Aku berusaha untuk benar-benar menenangkan Nia. Tak lama sampailah kami di ruang Lab itu. Suster mempersilahkan kami untuk menunggu sebentar di dalam. Suster itupun menyiapkan beberapa alat yang akan dipakai untuk mengecek pemeriksaan Ridho. Ridho masih dalam dekapan Nia, ia terlihat pucat dan lemah. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Kenapa anak seusia Ridho mengalami hal seperti ini.. Tanyaku dalam benak. “Sebentar ya bu pak, saya akan memanggil dokternya!”, sahut suster itu.

Beberapa menit kemudian dokter itupun datang. “Maaf pak sudah menunggu!”, sapa dokter itu. Dokter itu langsung menyuruhku untuk membimbing Ridho naik ke tempat tidur pemeriksaan. “Saya mohon bapak dan ibu hanya menunggu di ruang tunggu di luar, nanti kalau sudah selesai saya akan panggilkan ibu dan bapak!”, suruh dokter itu pada aku dan Nia. “Baiklah dok kami akan keluar!”, jawabku. Aku dan Nia pun keluar dari ruangan itu, dan kamu menunggu di ruang tunggu. Nia hanya diam, dan sesekali menyenderkan kepalanya di pundakku. “Kita harus sabar ma, percayakan semuanya sama Tuhan!”, tegurku pada Nia. Niapun hanya mengangguk padaku. Aku harus tegar dan harus bisa menenangkan Nia….. pikirku. Disekelilingku dan Nia, banyak juga orang tua yang mengantar anaknya berobat. Kupikir, sepertinya ini cobaan dari Tuhan untukku dan Nia. Tapi aku yakin, aku dan Nia pasti bisa melalui cobaan ini. Aku yakin itu!.....

Tak lama pintu ruang Lab itu terbuka. Kulihat dokter keluar dari pintu itu. “Bapak Ivan….”, panggilnya. Aku dan Nia langsung tersontak kaget. Kamipun langsung bergegas untuk menghampiri ke dalam. Sesampainya kami di dalam, Ridho sudah dipasangkan infusan. “Ada apa dengan Ridho dok? Kenapa dia dipasang infusan?”, tanya Nia dengan suara kerasnya. Aku membimbing Nia menuju Ridho, baru kali ini aku lihat Nia seperti orang yang sangat takut sekali. “Begini bu pak, hasil pemeriksaan yang saya lakukan tadi menghasilkan hasil yang kurang memuaskan untuk didengar, namun kami masih bisa berusaha semaksimal mungkin untuk hal ini”, jelas dokter itu. “Iya tapi kenapa dengan Ridho, sakit apa dia?”, tanya Nia kembali. Aku mengelus bahu Nia, agar ia bersabar dan tidak emosian. “Ridho megidap penyakit yang sangat serius, ia terkena leukemia!”, jelas dokter itu kembali. Nia langsung tersontak kaget. Ia langsung histeris mendengar perkataan dokter tadi. “Ini gak mungkin dok, kemaren dia masih sangat baik-baik saja!”, jawab Nia. Beberapa kali aku menenangkan Nia agar ia tidak seperti ini, namun gagal. “Tenang bu, kita masih bisa melakukan yang terbaik untuk Ridho!”, perjelas dokter itu kepada Nia. Ridho hanya terbaring lemah di tempat tidur, dan tak tahu kapan ia akan sadar dari tidurnya. Dokterpun berkata pada kami agar Ridho menjalani perawatan di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan hingga Ridho kembali sehat. Aku dan Nia setuju untuk hal yang satu ini. Tiba-tiba handphone ku berdering. Kring kringgg…….. Kulihat Vino yang menelponku, tapi tak kuangkat. Ku reject telpon dari Vino, dan akupun segera menuju tempat pendaftaran rawat inap. Kutinggalkan Nia di ruang Lab itu. Selama perjalanan, aku menyempatkan untuk menelpon Vino kembali. Dan akhirnya tersambung. “Vin, sorry tadi gue lagi ngurusin sesuatu yang penting banget, gue lagi di rumah sakit sekarang, Ridho masuk rumah sakit Vin!”, jelasku pada Vino. “Kenap Van?”, tanya Vino. Kuceritakan semua yang menimpa Ridho hari ini. Vino pun kaget mendengar semua yang kuceritakan. Aku tak bisa menelpon terlalu lama, dan kuputuskan untuk menghentikan pembicaraan dengan Vino. Setibanya aku di tempat pendaftaran rawat inap, kulihat banyak sekali orang yang mengantri disana. Terpaksa aku harus ikutan mengantri. Aku harus sabar…… Pikirku!.

Akhirnya tibalah giliran aku di depan meja pendaftaran itu, langsung kusebutkan nama dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan perawatan Ridho kepada pekerja di sana. “Terima kasih ya pak, data sudah kami terima dan nanti petugas kami yang akan mengantarkannya ke ruang rawat inap.”, jelas wanita yang ada dibelakang meja itu. Setelah mengurus semuanya, akupun kembali ke ruangan Lab. Sesampainya disana, kulihat Nia masih menemani Ridho yang masih terbaring lemah di tempat tidur. Dokter itupun masih ada di ruangan itu. “Gimana pak, sudah diurus?”, tanya dokter itu padaku. Setelah ku menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh dokter itu, aku dan Nia menemani Ridho untuk masuk ke kamar inap yang sudah disediakan oleh rumah sakit. Kebetulan aku memilih kamar VIP, karena kupikir Ridho memang perlu banyak istirahat. Sesampainya kami di kamar itu, susterpun memindahkan Ridho ke tempat tidurnya. Banyak sekali alat-alat yang dipasangkan oleh dokter itu pada diri Ridho. Sungguh tak tega aku melihatnya. Belum lagi dari tadi aku lihat Nia selalu menangis.

Waktu menunjukkan sudah pukul 13.00, tak terasa sekali pikirku. Dokter dan susterpun keluar dari kamar itu, dan aku meminta izin kepada Nia untuk membeli makan. Namun Nia menyuruhku untuk tetap di kamar itu. Aku turuti permintaan Nia itu. Kuputuskan untuk beristirahat sejenak di sofa kamar itu. Sambil terus kupandangi Nia yang selalu menemani Ridho, sang anak berusia sekitar 6 tahun yang kini menjadi hal yang paling berharga buat Nia. Namun ku tak tega kalau harus terus melihat Nia seperti ini, selalu nangis dan tak mau makan apapun. “Ridho harus sembuh ya…”, ucap Nia. Kudengar perkataan itu keluar dari mulut Nia sembari ia mengelus rambut Ridho. Siang telah berlalu dan kini sudah pukul 20.00, aku berkata pada Nia untuk beristirahat namun ia tak mau jauh dari Ridho. Aku tak bisa memaksa Nia, dan aku tinggalkan Nia untuk tetap berada di pinggir ranjang Ridho.

****

Kulihat jam di tanganku menunjukkan pukul 6.15. aku bangun dari sofa tempat dimana semalaman aku tidur. Dan aku berjalan menuju ranjang tempat Ridho dan Nia tidur. Kulihat mereka masih tidur, namun kulihat tangan Nia yang tak lepas menggenggam tangan Ridho. Tanpa sadar kulihat alat detak jantung yang di pasang di badan Ridho berhenti. Segera kubangunkan Nia. Nia panik, dan aku langsung berlari keluar untuk mencari dokter atau suster. Sepanjang perjalanan di dekat kamar Ridho, aku berteriak-teriak memanggil suster. Dan akhirnya suster mendatangiku, dan segera masuk ke kamar Ridho untuk melihat keadaan Ridho. Nia terus menangis tak karuan, dan aku langsung memeluknya agar ia tak terlalu beringas. Para suster itu berusaha sekuat tenaga untuk membantu pernafasan Ridho. Aku melihatnya sudah tak tahan. Nia terus menangis. “Saya panggil dokter dulu ya pak!”, seru seorang suster. Sedangkan suster yang lainnya masih terus berusaha untuk pernafasan Ridho. Dokterpun datang, dan langsung dengan sigap memeriksa keadaan Ridho. Namun tak berapa lama, dokter itu menyuruh seorang suster untuk mengambil beberapa alat tambahan untuk membantu memulihkan Ridho. Dokter pun menyuruh kami untuk keluar dari ruangan kamar Ridho. Dengan cepat, aku dan Nia segera keluar dari kamar itu.

Beberapa menit kemudian, dokter itupun keluar dan membawa berita untuk kami. Kami berharap berita itu baik dan tak terjadi apa-apa pada Ridho. Niapun langsung menghampiri dokter yang masih berdiri di depan pintu itu. “Bagaimana dok? Ridho gak papa kan?”, tanya Nia dengan sangat panik. Namun berita dari dokter itu adalah berita yang sangat buruk, Ridho dinyatakan telah tiada. Nia langsung pingsan di depanku. Dengan sigap, akupun langsung menarik dan menggendong Nia yang tadi terjatuh di lantai. Kutidurkan Nia sejenak di bangku luar kamar, dan tak lama ia sadar dengan memanggil nama Ridho. Niapun langsung beranjak dari tempat duduknya dan langsung masuk ke kamar untuk melihat Ridho. Tangisannya sudah tak karuan. Aku menemani Nia untuk masuk ke dalam agar ia tetap tenang dan tak berteriak-teriak. Dan aku berusaha untuk mengatakan yang terbaik padanya. “Ini semua sudah yang terbaik buat Ridho ma, kita harus ikhlas! Tuhan hanya sebentar menitipkan Ridho pada kita, Tuhan menguji seberapa besar cinta kita dan pengorbanan kita kepada anak!”, jelasku pada Nia. Ridho pun kami semayamkan di rumah kami, dan sore itu juga langsung dimakamkan. Vinopun turut hadir di rumah kami dan di pemakaman Ridho. “Lo harus sabar ya Van! Ini yang terbaik dari Tuhan”, seru Vino padaku. Aku tetap memeluk Nia sepanjang acara pemakaman Ridho, karena Nia merasa sangat kehilangan Ridho. Padahal Nia dan Ridho baru 3 hari dekat.

Sesampainya di rumah, kuantarkan Nia untuk istirahat di kamar. Dan aku pun kembali ke ruang tengah karena masih banyak tamu.

****

Sejak Ridho tiada, aku dan Nia semakin sadar dan selalu bersabar untuk bisa mendapatkan seorang anak. Kini Nia sudah bisa menerima kepergian Ridho dengan ikhlas. Dan beberapa bulan kemudian, Nia hamil. Kami sangat senang sekali. Dan kini aku sudah mampu melihat senyuman serta tawa dari raut wajah cantik Nia. Aku dan Nia semakin yakin kalau Ridho adalah anugerah terindah yang dititipkan Tuhan walaupun sebentar kepada kami. Hingga saat in kami akan memiliki seorang anak kembali. Jika anak kami lelaki, Nia berniat memberi nama Ridho pada anak kami nantinya.

Kesetian, kesabaran, kepercayaan dan keyakinan adalah kunci utama yang harus kita pegang dalam kehidupan kita jika kita ingin memiliki kehidupan yang harmonis. Tidak hanya dalam kehidupan berumah tangga, tetapi juga dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jelas tidak hanya dengan teman, sahabat, keluarga ataupun pacar, tetapi harus ditanamkan kepada semua orang.

Iklan Peduli Lingkungan

Monday, June 14, 2010

Komik Dung Dung Plak

http://metamorphosis-kaleidoscope.blogspot.com/

Monday, May 24, 2010

Raguku pada semua ini

Saat ini tak tahu apa yang ada dalam pikiranku.. Aku merasa jatuh dan terpuruk ke lubang yang dalam. Tak tahu harus meminta tolong pada siapa.. Akankah kebenaran berpihak padaku. Aku yakin Allah Maha tahu akan kebenaran semua itu... AKU YAKIN!!!

Thursday, April 29, 2010

Between them

Bener banget ya.. Dalam pertemanan itu, gak ada satupun orang yang mau mengalah demi kebaikan bersama. Semua pengen dinomor satukan..
Hari ini, hari yang gak pengen banget terjadi buat gw.. Duduk diantara dua orang yang bagi gw mereka adalah sahabat baik gw.. Tapi, mereka membuat gw BT dan merasa sebel hari ini. Kenapa sih itu harus terjadi diantara kalian?. Pertanyaan yang seharusnya gak perlu diutarakan, malah jadi kekacauan. Gw hanya duduk dan mendengarkan ocehan serta unek-unek mereka berdua.
Sampai pada akhirnya kesabaran telinga gw berubah, gw bosen!!! Selalu dan selalu masalah kecil dibesar-besarin...
Kalian tuh dah gede, kenapa mesti gini sih!!!. Hanya itu yang ada di dalam hati gw. Gw gak bisa membela siapa yang benar diantara mereka, karena bagi gw, mereka itu sama. Yang satu bilang kalau yang satu itu egois dan gak mau di kritik, padahal bagi gw mereka berdua itu kayak gitu, gak ada bedanya.
Ayolah introspeksi diri masing-masing, gak ada ruginya koq..!!!